Ketajaman Penciuman Hewan
Hewan menggunakan hidung mereka untuk memfokuskan indera
penciumannya, mirip seperti manusia memfokuskan mata mereka, ditunjukkan
oleh penelitian baru dari Universitas Chicago.
Sebuah
tim peneliti yang mempelajari tikus menemukan kalau hewan tersebut
menyetel indera penciumannya lewat teknik mencium yang membawa bau ke
reseptor di bagian berbeda hidung. Pola penciuman ini berubah sesuai
dengan jenis zat yang berusaha dideteksi sang tikus.
Indera
penciuman sangat penting bagi banyak hewan, karena mereka
membutuhkannya untuk mendeteksi predator dan mencari makanan. “Anjing,
misalnya, tergantung pada penciuman mereka,” kata peneliti Leslie Kay,
asisten professor psikologi dan direktur Institute for Mind &
Biology di University of Chicago. “Namun ada banyak kimiawi dalam
penciuman yang mereka deteksi, sehingga mendeteksi satu yang dapat
dating dari predator atau dari ranjau misalnya, adalah proses yang
rumit.”
Kay bergabung dalam menulis
makalah ini dengan Daniel Rojas-Líbano, seorang pasca doctoral dari
Universitas Chili di Santiago, yang memperoleh PhD dari UChicago tahun
2011. Rojas-Libano, yang melakukan penelitiannya sebagai mahasiswa
doctoral, adalah pengarang perdana makalah ini. Hasil mereka diterbitkan
dalam artikel “Interplay Between Sniffing and Odorant Properties in
the Rat,” dalam Journal of Neuroscience.
Para
ilmuan berhipotesis kalau hewan mampu memfokuskan penciuman, seperti
halnya manusia memfokuskan penglihatannya untuk mendeteksi suatu target,
seperti wajah teman, dalam keramaian. Manusia juga mampu menyetel
kemampuan mereka mendeteksi bau tertentu lewat latihan ketika memasak
atau memeriksa anggur, misalnya.
Kay
dan Rojas-Libano menarik dari dua gagasan yang diajukan oleh ilmuan lain
untuk menguji apakah hewan dapat memfokuskan penciuman mereka.
Dalam
satu perangkat penemuan, para peneliti menunjukkan kalau hidung dapat
bertindak seperti kromatograf gas (alat yang memisahkan kimiawi dalam
campuran kompleks seperti aroma bunga), menyerap zat berulang kali
tergantung seberapa siap ia berinteraksi dengan lender berbasis air di
reseptor indera di hidung. Bau yang memiliki “nilai serap” tinggi mudah
diserap ke dalam lender, sementara bau yang tidak siap diserap menjadi
air memiliki nilai serapan rendah.
Temuan
lain yang krusial pada penelitian ini adalah penemuan kalau perubahan
dalam laju aliran udara bau yang memasuki hidung dapat mengubah bau mana
yang siap dideteksi hidung. Bagian berbeda dari hidung memiliki aliran
udara berbeda, dan kelas reseptor yang sesuai untuk mendeteksi bau
tertentu berbeda pula. Para peneliti berspekulasi kalau hewan dapat
mampu mengubah aliran udara untuk mentarget bau tertentu dalam campuran
kimiawi, seperti memfokuskan pada mencium bau tertentu dalam parfum.
Namun
hingga publikasi makalah oleh Kay dan Rojas-Libano, tidak ada yang
mampu menguji gagasan yang muncul dari temuan sebelumnya tersebut.
“Daniel
melakukan eksperimen untuk menguji hipotesis ini,” jelas Kay.
Rojas-Libano melatih tikus untuk mendeteksi bau khusus dengan
menghadiahkan mereka pellet gula ketika mereka mendeteksi bau target dan
merespon dengan benar. Elektroda ditempelkan ke otot diafragma tikus
untuk mengukur laju pengambilan udara. Ia kemudian menguji hewan ini
dengan banyak campuran dua kimiawi untuk melihat apakah mereka dapat
memilih bau targetnya.
Tikus berhasil
membedakan hal ini, tanpa melihat tipe bau yang mereka cari. Namun tikus
belajar mencari bau yang sangat menyerap jauh lebih cepat dari tikus
yang belajar mendeteksi bau yang kurang menyerap. Tikus juga menghirup
secara berbeda, tergantung pada tipe bau yang mereka deteksi. Hewan ini
menghisap lebih lama ketika mereka belajar mendeteksi baru dengan
penyerapan rendah, dan kemudian mengurangi laju aliran ketika mereka
telah belajar mendeteksi bau.
“Apa
yang terjadi adalah udara bergerak melewati hidung pada laju lebih
lambat dan mentarget bagian-bagian tersebut pada epitel hidung yang jauh
sepanjang jalur – mereka lebih mungkin menangkap bau berpenyerapan
rendah,” kata Kay.
Untuk bau yang
sangat menyerap, hewan ini menyerap lebih cepat karena bagian rongga
hidung yang sensitif pada bau tersebut lebih dekat untuk memulai jalur
udara hidung.
“Saya rasa salah satu
aspek paling menarik eksperimen ini adalah temuan perbedaan dalam
kesulitan yang ditunjukkan tikus untuk mendeteksi berbagai target dari
satu perangkat campuran,” kata Rojas-Libano. “Hal ini menunjukkan kalau
ada lebih dari penciuman daripada hanya tipe dan kombinasi reseptor.
Jika deteksi hanya semata berdasarkan interaksi reseptor kimia
(seperti yang orang asumsikan), tingkat kinerjanya mesti sama antara
kelompok tikus. Sifat fisik dari bau sangat penting, dan begitu juga
tipe penciuman yang digunakan individu untuk mencium bau.”
Proyek ini didukung dana dari National Institute on Deafness and Other Communication Disorders.
sumber berita:
Category: Pendidikan
0 komentar