Metabolisme Sekunder Kapang
A. Metabolisme Sekunder Kapang
Substansi kimia
alamiah hasil metabolisme sekunder mikroorganisme disebut denga antibiotik,
yang mempunyai kemampuan baik menghambat pertumbuhan maupun membunuh
mikroorganisme lain. Definisi tersebut sangat terbatas, karena sekarang banyak
molekul yang diperoleh melalui sintesis kimia, mempunyai aktivitas
terhadap mikroorganisme. Sekarang istilah antibiotika berarti semua substansi
baik yang berasal dari alam maupun sintetik yang mempunyai toksisitas selektif
terhadap satu atau beberapa mikroorganisme tujuan, tetapi mempunyai toksisitas
cukup lemah terhadap inang (manusia, hewan, atau tumbuhan) dan dapat diberikan
melalui jalur umum.
Ada
sebagian antibiotik diduga bisa menyebabkan imunosupresi, diantaranya
tetrasiklin, sulfonamid, penisilin, chlorampenicol dan streptomisin. Guna
membuktikan hal tersebut Medion telah melakukan trial pengaruh pemberian Sulfamix
(sulfadimetilpirimidin) dan Medoxy-L
(oksitetrasiklin) terhadap pembentukan titer antibodi ND hasil vaksinasi
menggunakan Medivac ND La
Sota. Salah satu organisme penghasil antibiotika yang sedang
banyak dibicarakan sekarang ini adalah fungi endofit. Fungi endofit biasanya
terdapat dalam suatu sistem jaringan seperti daun, ranting, atau akar tumbuhan.
Fungi ini dapat menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu
menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika (Carrol,1988 ; Clay, 1988).
Asosiasi beberapa fungi endofit dengan tumbuhan inang mampu melindungi tumbuhan
inangnya dari beberapa patogen virulen, baik bakteri maupun jamur (Bills dan
Polyshook, 1992).
B. Fungi
Endofit
Fungi
endofit adalah fungi yang terdapat di dalam sistem jaringan tumbuhan, seperti
daun, bunga, ranting ataupun akar tumbuhan (Clay, 1988). Fungi ini
menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu menghasilkan
mikotoksin, enzim serta antibiotika (Carrol, 1988 ; Clay, 1988).
Asosiasi
fungi endofit dengan tumbuhan inangnya, oleh Carrol (1988) digolongkan dalam
dua kelompok, yaitu mutualisme konstitutif dan induktif. Mutualisme konstitutif
merupakan asosiasi yang erat antara fungi dengan tumbuhan terutama
rumput-rumputan. Pada kelompok ini fungi endofit menginfeksi ovula (benih)
inang, dan penyebarannya melalui benih serta organ penyerbukan inang.
Mutualisme induktif adalah asosiasi antara fungi dengan tumbuhan inang, yang
penyebarannya terjadi secara bebas melalui air dan udara. Jenis ini hanya
menginfeksi bagian vegetatif inang dan seringkali berada dalam keadaan
metabolisme inaktif pada periode yang cukup lama.
Banyak
kelompok fungi endofit yang mampu memproduksi senyawa antibiotika yang aktif
melawan bakteri maupun fungi patogenik terhadap manusia, hewan dan tumbuhan,
terutama dari genus Coniothirum
dan Microsphaeropsis
(Petrini et al.,
1992). Penelitian Dreyfuss et
al. (1986), menunjukkan aktivitas yang tinggi dari penisilin N,
sporiofungin A, B, serta C yang dihasilkan oleh isolat-isolat endofit Pleurophomopsis sp. dan Cryptosporiopsis sp. yang
diisolasi dari tumbuhan Cardamin
heptaphylla Schulz. Lebih lanjut, suatu penelitian yang dilakukan
oleh Tscherter dan Dreyfuss (1982) dalam
Petrini et al.
(1992) menghasilkan suatu kesimpulan bahwa galur-galur endofit Cryptosporiopsis pada umumnya
merupakan penghasil senyawa antibiotika berspektrum lebar. Isolat fungi endofit
Xylaria spp. juga
memiliki potensi besar dalam penelitian-penelitian industri farmasi maupun
pertanian. Suatu strain Xylaria
yang diisolasi dari tumbuhan epifit di Amerika Selatan dan Meksiko
dilaporkan dapat menghasilkan suatu senyawa antibiotika baru dari kelompok
sitokalasin (Dreyfuss et al.,
1986).
Penelitian
Brunner dan Petrini ( 1992) yang melakukan seleksi pada lebih dari 80 spora
fungi endofit, hasilnya menunjukkan bahwa 75 % fungi endofit mampu menghasilkan
antibiotika. Fungi endofit Xylotropik,
suatu kelompok fungi yang berasosiasi dengan tumbuhan berkayu, juga merupakan
penghasil metabolit sekunder. Pada suatu studi perbandingan yang dilakukan
terhadap berbagai fungi, lebih dari 49 % isolat Xylotropik yang diuji menunjukkan aktivitas
antibiotika, sedangkan fungi pembandingnya hanya 28 % (Petrini et al., 1992).
Fungi
endofit juga mampu menghasilkan siklosporin A, yang berpotensi sebagai
antifungal dan bahan imunosupresif (Borel et
al., 1976 ; Petrini
et al., 1992). Siklosporin dihasilkan oleh strain Acremonium luzulae (Fuckel)
W. Gams, yang diisolasi dari buah strawberry (Moussaif et al., 1977). Senyawa
antibiotika lainnya seperti sefalosporin mulanya dihasilkan oleh satu strain Cephalosporium dan Emericellopsis (Acremonium). Selanjutnya juga
ditemukan pada fungi Anixiopsis,
Arachnomyces,Diheterospora, Paecilomyces, Scopulariopsis dan Spiroidium (Morin dan Gorman,
1982).
Fungi
endofit Acremonium coenophialum
yaitu yang berasosiasi dengan rumput-rumputan dapat menghambat pertumbuhan
patogen rumput Nigrospora
sphaerica, Periconia sorghina dan Rhizoctonia cerealis (White and Cole, 1985).
Fungi endofit lainnya seperti Taxomyces
andreanae dapat menghasilkan senyawa taxol yang berguna sebagai
obat anti kanker (Strobel et
al., 1996). Menurut Bacon (1988), fungi endofit yang mempunyai
nilai komersial dalam bidang farmasi, antara lain Balansia spp. dan Acremonium coenophialum.
Fungi
endofit dapat menjalin kehidupan bersama dengan tumbuhan inang, dan mampu
melindungi tumbuhan inang dari beberapa patogen virulen, diantaranya adalah Acremonium coenophialum.
Berbagai senyawa antibiotika yang sangat berguna yang dihasilkan oleh fungi
endofit antara lain siklosporin oleh Acremonium
luzulae, dan senyawa taxol oleh Taxomyces
andreanae.
Pemakaian antibiotik dan obat hewan yang
tergolong obat keras perlu memperhatikan waktu henti. Setelah waktu henti
terlampaui diharapkan residu tidak ditemukan lagi atau telah berada di bawah
BMR sehingga produk ternak aman dikonsumsi.
Tidak
dipatuhinya waktu henti obat kemungkinan disebabkan
a)
bahaya
residu anti-biotik pada pangan asal ternak belum dipahami,
b)
peternak
belum mengetahuiwaktu henti obat setelah pemakaian antibiotik, dan
c)
banyak
perusahaan obat hewan tidak mencantumkan waktu henti obat dan tanda peringatan
khusus.
Beberapa
pabrik pakan telah melakukan uji mutu bahan baku pakan dan pakan komersial yang
diproduksinya. Pemeriksaan dilakukan terhadap bau, ketengikan, jamur, serta
kandungan aflatoksin. Sebagian pabrik pakan (50%) juga memeriksa cemaran mikroba
patogen. Selain cemaran aflatoksin, logam berat, dan mikroba, juga ditemukan
senyawa obat-obatan seperti golongan antibiotik, koksidiostat, dan antijamur
yang secara sengaja dicampur ke dalam pakan (ransum) untuk tujuan tertentu seperti
sebagai pemacu pertumbuhan.
Hampir
semua pakan komersial (85,70%) mengandung antibiotik, 50% mengandung
koksidiostat, dan 33,30% mengandung obat antijamur. Hal ini mempertegas bahwa
peluang adanya residu antibiotik dan obat-obatan lainnya pada daging dan telur
ayam semakin besar.
Masalah
Mikotoksin pada Pakan. Selain mengandung antibiotik, pakan dan bahan pakan ayam
di Indonesia juga tercemar berbagai mikotoksin seperti aflatoksin, zearalenon,
cyclopiazonic berkembangnya isu tentang tanaman transgenik, yaitu tanaman hasil
rekayasa genetik seperti jagung Bt dan kedelai Bt yang diproduksi Amerika
Serikat.
Sebagian
ilmuwan mengkhawatirkan dampak negatif akibat mengkonsumsi produk pertanian
hasil rekayasa genetik tersebut. Kekhawatiran ini juga dapat terjadi pada
produk ternak yang proses budi dayanya menggunakan produk-produk tanaman
transgenik seperti jagung Bt dan kedelai Bt.
Sapi yang
diberi pakan dasar jagung Bt tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dalam
pertumbuhan bobot badan dan performan lainnya, tetapi penelitian ini tidak
mempelajari aspek kesehatannya. Sampai saat ini, kekhawatiran terhadap keamanan
produk ternak akibat konsumsi tanaman transgenik masih menjadi perdebatan, baik
di kalangan ilmuwan maupun pemegang kebijakan dan masyarakat luas.
Meat and
Bone Meal pada Pakan. Permasalahan lain pada pakan adalah kekhawatiran
penggunaan meat and bonemeal (MBM) sebagai campuran pakan, terutama untuk
ternak ruminansia. Hal ini berkaitan dengan isu penyakit sapi gila yang salah
satu penularannya diduga kuat melalui penggunaan MBM asal ternak ruminansia
yang menderita atautertular penyakit sapi gila (Darminto danBahri 1996; Sitepu
2000).
Dengan demikian, pakan yang mengandung MBM berpotensi menghasilkan produkternak yang tidak aman bagi kesehatanmanusia. Oleh karena itu, negara-negara Uni Eropa dan Amerika telah melarang penggunaan MBM untuk pakan ternakruminansia.
Dengan demikian, pakan yang mengandung MBM berpotensi menghasilkan produkternak yang tidak aman bagi kesehatanmanusia. Oleh karena itu, negara-negara Uni Eropa dan Amerika telah melarang penggunaan MBM untuk pakan ternakruminansia.
Kontaminan
Lain pada Pakan. Berbagai kontaminan baik berupa bahan kimia maupun
mikroorganisme dapat mencemari pakan secara alami maupun non alami. Beberapa contoh
kasus ini adalah cemaran dioksin pada daging ayam dan babi serta susu dan telur
yang terjadidi Belgia, Belanda dan Perancis pada tahun 1999.
Dalam kasus ini, kandungan dioksin pada telur ayam berkisar 265–737pg/g lemak, ayam potong 536 pg /g lemak, dan daging babi 1 pg/g lemak, sedangkan ambang maksimal kandungandioksin adalah 1 pg/g lemak.
Dalam kasus ini, kandungan dioksin pada telur ayam berkisar 265–737pg/g lemak, ayam potong 536 pg /g lemak, dan daging babi 1 pg/g lemak, sedangkan ambang maksimal kandungandioksin adalah 1 pg/g lemak.
Pencemaran
bersumber dari salah satu bahan pakan yang diproduksi oleh suatu perusahaan di
Eropa. Kontaminasi lainpada pakan seperti logam berat, senyawa pestisida maupun
senyawa beracun lainnya setiap saat dapat terjadi dan akan mempengaruhi
keamanan produk ternak yang dihasilkan.
C. Mikotoksin
Mikotoksin
atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi lingkungan lembab,
terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan
memicu tumbuhnya jamur yang menghasilkan racun atau toksin. Jamur yang tumbuh
pada ransum dan bahan baku
ransum dapat dengan mudah dimatikan, namun tidak demikian dengan racun jamur
yang terbentuk. Racun itu sangat sulit untuk dihilangkan.
Racun
jamur yang terkonsumsi oleh ayam biasanya tidak langsung dikeluarkan dari
tubuh, namun akan terakumulasi dan saat kadarnya telah mencapai titik tertentu
(batas normal) maka ayam akan mulai menunjukkan gejala. Salah satunya ialah
melemahnya sistem pertahanan tubuh ayam atau sering disebut imunosupresi.
Imunosupresi yang disebabkan oleh mikotoksin bersifat kronis. Namun jika
konsentrasi tinggi akan bersifat akut.
Imunosupresi
merupakan gejala awal saat kadar mikotoksin relatif rendah, selanjutnya terjadi
gangguan metabolisme, timbul gejala klinis dan akhirnya timbul kematian.
Dari
sekitar 300 jenis mikotoksin yang telah terdeteksi dari 100.000 spesies jamur,
setidaknya ada 4 jenis mikotoksin yang bersifat imunosupresi pada ayam, yaitu
aflatoksin, ochratoksin, fumonisin dan trichothecenes (T2).
Pustaka
http://www.majalahinfovet.com/2007/10/peran-pakan-dalam-keamanan-produk.htm
Category: Mikologi
0 komentar