Transfer Embrio Tingkatkan Populasi dan Mutu Genetik Sapi
PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI
DENGAN
TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO
TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO
Oleh: Herdis, Ida Kusuma, Maman Surachman dan Epih R. Suhana
Permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di Indonesia antara lain adalah masih rendahnya produktifitas dan mutu genetik ternak. Keadaan ini terjadi karena sebagian besar peternakan di Indonesia masih merupakan peternakan konvensional, dimana mutu bibit, penggunaan teknologi dan keterampilan peternak relatif masih rendah.
Gambar 1. Pedet hasil TE menggunakan embrio beku asal perancis BPT-HMT Baturraden, Purwokerto |
MANFAAT DAN KEUNGGULAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO
Teknologi IB telah diterapkan di
Indonesia sejak tahun 1953 untuk meningkatkan populasi ternak sapi.
Dalam usaha mempercepat
peningkatan populasi dan mutu genetik sapi,
maka perlu dicari metode lain yang lebih baik dan lebih cepat untuk
mendukung
tujuan penerapan teknologi IB. TE merupakan
teknologi alternatif yang sedang dikembangkan dalam usaha meningkatkan
mutu genetik
dan populasi ternak sapi di Indonesia. Adapun
manfaat teknologi transfer embrio adalah:
- Meningkatkan mutu genetik ternak.
- Mempercepat peningkatan populasi ternak.
- Berpotensi mencegah berjangkitnya penyakit hewan menular yang ditularkan lewat saluran kelamin.
- Mempercepat pengenalan material genetik baru lewat ekspor embrio beku.
Keunggulan teknologi transfer embrio dibandingkan inseminasi buatan adalah:
- Perbaikan mutu genetik pada IB hanya berasal dari pejantan unggul sedangkan dengan teknologi TE, sifat unggul dapat berasal dari pejantan dan induk yang unggul.
- Waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh derajat kemurnian genetik yang tinggi (purebred) dengan TE jauh lebih cepat dibandingkan IB dan kawin alam.
- Dengan teknik TE, seekor betina unggul mampu menghasilkan lebih dari 20 - 30 ekor pedet unggul per tahun, sedangkan dengan IB, hanya dapat menghasilkan satu pedet per tahun.
- Melalui teknik TE dimungkinkan terjadinya kebuntingan kembar, dengan jalan mentransfer setiap tanduk uterus (cornua uteri) dengan satu embrio.
Pada tahun 1996 BPPT bekerja sama dengan
Pemerintah Perancis melaksanakan pembuatan pra-studi kelayakan untuk
mendirikan
Pusat Pengkajian dan Penerapan Bioteknologi
Peternakan (P3BP). P3BP diharapkan akan menjadi wadah penelitian dan
pengembangan
teknologi TE serta menjadi pusat pelatihan
pelaksana kegiatan TE.
Sebagai langkah pertama, BPPT telah
melaksanakan transfer embrio beku sapi perah jenis Fries Hollstein (FH)
dan sapi daging
jenis Limousin dari Perancis. Kegiatan ini
dilaksanakan di peternakan rakyat di daerah Bogor dan di Balai
Pembibitan Ternak
Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT) Batur Raden
Purwokerto. Tujuh ekor sapi yang lahir dari program ini diharapkan akan
menjadi
sapi donor pada program TE mendatang.
PROSEDUR PELAKSANAAN
Keberhasilan program TE dipengaruhi oleh kondisi sapi donor, sapi resipien, kualitas embrio yang dihasilkan dan pelaksanaan TE dari donor ke resipien.
1. Seleksi Sapi Donor dan Sapi Resipien
Sapi yang digunakan sebagai ternak donor harus mempunyai kriteria :
- Memiliki genetik unggul
- Memiliki kemampuan reproduksi
- Keturunannya memiliki nilai pasar
Sapi yang digunakan untuk resipien
sebaiknya mempunyai umur yang masih muda terutama sapi dara (belum
pernah bunting).
Sapi resipien tidak harus mempunyai mutu
genetik yang baik dan berasal dari bangsa yang sama, tetapi harus
mempunyai organ
dan siklus reproduksi normal, tidak pernah
mengalami kesulitan melahirkan (distokia), sehat serta bebas dari
infeksi saluran
kelamin.
2. Super Ovulasi
Sapi merupakan ternak uniparous,
dimana sel telur yang terovulasi setiap siklus berahi biasanya hanya
satu buah. Dalam
program TE, untuk merangsang terjadinya
ovulasi ganda, maka diberikan hormon superovulasi sehingga diperoleh
ovulasi sel telur
dalam jumlah besar. Hormon yang banyak
digunakan untuk rekayasa superovulasi adalah hormon gonadotropin seperti
Pregnant Mare’s
Serum Gonadotripin (PMSG) dan Follicle
Stimulating Hormone (FSH). Penyuntikan hormon gonadotropin akan
meningkatkan perkem-bangan
folikel pada ovarium (folikulogenesis) dan
pematangan folikel sehingga diperoleh ovulasi sel telur yang lebih
banyak.
Hormon FSH mempunyai waktu paruh
hidup dalam induk sapi antara 2 - 5 jam. Pemberian FSH dilakukan sehari
dua kali
yaitu pada pagi dan sore hari selama 4 hari
dengan dosis 28 - 50 mg (tergantung berat badan). Perlakuan superovulasi
dilakukan
pada hari ke sembilan sampai hari ke 14
setelah berahi.
3. Penyerentakan Berahi
Penyerentakan berahi atau
sinkronisasi estrus adalah usaha yang bertujuan untuk mensinkronkan
kondisi reproduksi ternak
sapi donor dan resipien. Sinkronisasi estrus
umumnya menggunakan hormon prostaglandin F2a (PGF2a ) atau kombinasi
hormon progesteron
dengan PGF2a . Prosedur yang digunakan adalah
:
- Ternak yang diketahui mempunyai corpus luteum (CL), dilakukan penyuntikan PGF2a satu kali. Berahi biasanya timbul 48 sampai 96 jam setelah penyuntikan.
- Apabila tanpa memperhatikan ada tidaknya CL, penyuntikan PGF2a dilakukan dua kali selang waktu 11-12 hari.
Penyuntikan PGF2a pada ternak
resipien harus dilakukan satu hari lebih awal daripada donor. Keadaan
ini disebabkan
karena pada ternak donor yang telah diberi
hormon gonadotropin, berahi biasanya lebih cepat yaitu 36 - 60 jam
setelah penyuntikan
PGF2a , sedangkan pada resipien berahi
biasanya timbul 48 - 96 jam setelah penyuntikan PGF2a .
4. Inseminasi Buatan
IB yang baik dilaksanakan 6 sampai 24
jam setelah timbulnya berahi. Berahi pada sapi ditandai oleh alat
kelamin luar
(vagina) berwarna merah, bengkak dan
keluarnya lendir jernih serta tingkah laku sapi yang menaiki sapi lain
atau diam apabila
dinaiki sapi lain. Pada program TE, IB
dilakukan dengan dosis ganda dimana satu straw semen beku biasanya
mengandung 30 juta
spermatozoa unggul.
5. Koleksi dan Transfer embrio
Koleksi embrio pada sapi donor
dilakukan pada hari ke 7 sampai 8 setelah berahi. Sebelum dilakukan
panen embrio, bagian
vulva dan vagina dibersihkan dan disterilkan
dengan menggunakan kapas yang mengandung alkohol 70%. Koleksi embrio
dilakukan
dengan menggunakan foley kateter dua jalur
16-20G steril (tergantung ukuran serviks). Pembilasan dilakukan dengan
memasukkan
medium flushing Modified Dulbecco’s
Phosphate Buffered Saline (M-PBS) yang telah dihangatkan di dalam water
bath
37oC.
Embrio yang didapat dari pembilasan
bisa langsung di transfer ke dalam sapi resipien atau dibekukan untuk
disimpan
dan di trasnfer pada waktu lain. Klasifikasi
embrio yang didapat pada pembilasan didasarkan pada penampilan umum
morphologis
dengan kriteria :
1. Kualitas embrio A (sangat baik)
Stadium embrio sesuai dengan yang diantisipasi (morula, blastosis dini atau blastosis) tidak cacat, bentuk bundar
spherical, ikatan blastomer erat dan kompak, bentuk simetris dan warna agak gelap.
2. Kualitas embrio B (baik)
Stadium perkembangan 16-32 sel, tampak sedikit cacat seperti keluarnya salah satu blastomer dari ikatan dan bentuk
asimetris.
3. Kualitas embrio C (cukup)
Stadium perkembangan agak retarded satu sampai dua hari dari stadium yang diantisipasi (8-16 sel), cacat, beberapa
blastomer keluar, ukuran blastomer tidak sama besar atau asimetris.
4. Kualitas embrio D (jelek) dan tidak layak di transfer.
Embrio yang mengalami hambatan perkembangan parah (2-8 sel), embrio mengalami degenerasi seluler, ikatan-ikatan blastomer
longgar sampai lepas atau ovum yang tidak terbuah (infertlized ova)
6. Transfer Embrio
Pada umumnya terdapat dua metode TE
yang digunakan yaitu metode pembedahan dan metode tanpa pembedahan.
Metode pembedahan
dilakukan dengan jalan membuatan sayatan di
daerah perut (laparotomi) baik sayatan sisi (flank incici) atau sayatan
pada garis
tengah perut (midle incici). Metode tanpa
pembedahan dilakukan dengan memasukkan embrio kedalam straw kemudian
ditransfer
kedalam uterus resipien dengan menggunakan
cassoue gun insemination.
SUMBER
SUMBER
Category: Genetika, Peternakan, Reproduksi
0 komentar