Potensi Peternakan Kambing (Bag. II)
Bab II
POTENSI PETERNAKAN KAMBING
POTENSI PETERNAKAN KAMBING
2.1. Latar Belakang
Usaha-ternak kambing akan mampu menciptakan lapangan kerja baru, baik peluang untuk menjadi peternak mandiri maupun lowongan pekerjaan yang terlibat pada sektor hulu dan hilir. Bila ada penambahan populasi sekitar 12 juta ekor, sedikitnya akan mendorong penciptaan lapangan kerja baru untuk satu juta orang di perdesaan maupun di kawasan industri pendukung.
Investasi penyediaan bibit unggul, untuk calon induk maupun pejantan adalah sangat strategis, karena saat ini praktis belum ada pihak yang tertarik. Pusat pembibitan ternak milik pemerintah yang sudah ada belum mampu untuk merespon perkembangan yang terjadi di masyarakat. Namun ke depan kegiatan ini justru harus dilakukan oleh swasta atau peternak kecil yang maju. Investasi untuk usaha ini dapat dimulai dengan skala sedang 200-500 ekor untuk kemudian dikembangkan menjadi usaha yang besar. Investasi yang diperlukan usaha ini sedikitnya sekitar Rp. 0,5-1 milyar, tidak termasuk kebutuhan lahan. Diharapkan usaha ini dapat dikembangkan di kawasan perkebunan yang sudah tersedia bahan pakan yang memadai.
Sementara itu investasi untuk pabrik pakan, pabrik obat, pabrik kompos, pabrik pengolahan susu, dll., dapat disesuaikan dengan kapasitas yang diperlukan, yang bernilai setara dengan nilai investasi pada ternak lainnya.
Dukungan kebijakan investasi perlu menyertakan petani sebagai end user dan pada akhirnya memberikan titik terang dalam pemberdayaan petani, peningkatan kesejahteraan disamping penambahan devisa dari ekspor bila pasar ekspor ke negara-negara jiran dapat dimanfaatkan. Untuk mendukung pembangunan/revitalisasi pertanian dan menciptakan iklim investasi guna pengembangan dan peningkatan mutu ternak kambing diperlukan berbagai kebijakan, antara lain:
a) Penyederhanaan prosedur dan persyaratan untuk investasi usaha pengembangan peternakan kambing;
b) Penyediaan kredit bagi hasil dan
c) penyediaan informasi (harga dan teknologi)
Sementara untuk peternkana Kambing perah yang banyak dikembangkan di Indonesia umumya kambing peranakan Etawah (PE), yang umumnya masih lebih dominan sebagai sumber daging dibandingkan dengan sumber air susu. Susu kambing belum dikenal secara Iuas seperti susu sapi padahal memiliki komposisi kimia yang cukup baik (kandungan protein 4,3% dan lemak 2,8%) relatif lebih baik dibandingkan kandungan protein susu sapi dengan protein 3,8% dan lemak 5,0% (Sunarlim dkk, 1992). Disamping itu dibandingkan dengan susu sapi, susu kambing lebih mudah dicerna, karena ukuran molekul lemak susu kambing lebih kecil dan secara alamiah sudah berada dalam keadaan homogen (Sunarlim dkk, 1992) (Sinn, 1983).
Produktivitas biologis kambing cukup tinggi, 8-28% lebih tinggi dibandingkan sapi (Devendra, 1975). Jumlah anak per kelahiran (litter size) bervariasi 1 sampai dengan 3 ekor dengan tingkat produksi susu yang melebihi dari kebutuhan untuk anaknya, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai produk komersial dan tidak mengganggu proses reproduksinya. Biaya investasi usaha ternak kambing relatif rendah dan pemeliharaannya pun jauh lebih mudah dibanding sapi.
Pengembangan usaha kambing PE mempunyai peluang pasar yang cukup tinggi di Kabupaten Cianjur karena daya dukung kesesuaian iklim dan aksesibilitas ke berbagai daerah konsumen. Tingginya impor dan masih rendahnya produksi susu sapi dalam negeri, merupakan pasar yang perlu dijajagi
Dari aspek produksi daging, permintaan daging kambing di Indonesia maupun di dunia juga mengalami peningkatan pesat selama 10 tahun terakhir ini. Indonesia mengkonsumsi kambing sebagai salah satu sumber protein hewani yang utama setelah sapi dan ayam.
Pasokan daging kambing relatif terbatas karena usaha peternakan kambing di Indonesia di dominasi oleh usaha rumah tangga dengan skala pemilikian 4 – 10 ekor.
Permintaan kambing untuk konsumen khususnya seperti restauran dan hotel-hotel masih dipenuhi oleh impor. Hal ini disebabkan daging kambing dalam negeri kurang sesuai untuk masakan yang dikehendaki oleh restauran dan hotel tersebut. Pengembangan pasar ke pasar spesifik merupakan peluang ekonomi yang pantas diraih dengan pengusahaan peternakan kambing sistem ranch, dan hal ini sangat sesuai dengan kambing PE. Komoditas susu kambing juga memiliki propek yang baik sejalan dengan semakin memasyarakatnya susu tersebut.
2.2. Prospek Agribisnis Peternakan
Walau sama-sama bahan pangan, namun secara fungsional dan cita rasa, kebutuhan konsumsi produk peternakan amat berbeda dari produk tanaman pangan sehingga karakteristik permintaan terhadap kedua kelompok bahan pangan tersebut juga amat berbeda. Produk tanaman pangan merupakan sumber utama karbohidrat, sementara produk peternakan merupakan sumber utama protein. Permintaan terhadap produk tanaman pangan bersifat inferior atau normal, yang menurun atau meningkat lambat bila pendapatan konsumen meningkat, sementara permintaan terhadap produk-produk peternakan bersifat normal atau “mewah”, yang meningkat cepat atau bahkan lebih cepat dari laju peningkatan pendapatan konsumen. Oleh karena itu, sesuai dengan hukum Bennett, struktur konsumsi bahan pangan bergeser dari dominan bahan utama karbohidrat (produk tanaman pangan), ke bahan utama protein (peternakan) seiring dengan peningkatan pendapatan konsumen.
Dengan perkataan lain, konsumsi per kapita produk peternakan, akan cenderung meningkat, sementara konsumsi per kapita produk tanaman pangan cenderung menurun. Kecendrungan perubahan pola konsumsi tersebut cenderung lebih cepat karena didorong oleh urbanisasi dan peningkatan pengetahuan gizi masyarakat. Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan pertambahan penduduk akan menyebabkan permintaan terhadap produk peternakan mengalami akselerasi, meningkat dengan laju yang semakin pesat. Artinya, prospek pasar produk peternakan, cenderung membaik seiring dengan kemajuan ekonomi yang terefleksi dalam dua indikator kunci :
1. Kapasitas volume absorbsi pasar semakin besar
2. Harga pasar cenderung meningkat, setidaknya relatif terhadap produk tanaman pangan.
Prospek pasar yang membaik cepat merupakan kekuatan penarik yang cukup besar sebagai landasan terjadinya Revolusi Peternakan (Livestock Revolution) di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh Delgado, et.al. (1999). Revolusi Peternakan, dicirikan oleh akselerasi pertumbuhan produksi peternakan. Peternakan akan menjadi sumber utama pertumbuhan baru sektor pertanian, menggantikan tanaman pangan yang tumbuh pesat pada dekade tahun 1970-an - 1980-an di topang oleh inovasi teknologi Revolusi Hijau.
Di Indonesia, revolusi peternakan di perkirakan telah berlangsung sejak awal tahun 1980-an. Seperti yang ditunjukkan pada tabel 1, laju pertumbuhan subsektor peternakan melonjak dari 2,02 persen per tahun, atau yang terendah dalam lingkup sektor pertanian pada periode tahun 1967-1978, menjadi 6,99 persen per tahun atau yang tertinggi pada periode tahun 1978-1986. Namun pada periode tahun 1998 pertumbuhan subsektor peternakan anjlok hingga –13,94 persen sebagai akibat dari krisis multi dimensi ekonomi sosial politik.
Peternakan merupakan subsektor yang paling terpuruk akibat krisis multidimensi pada periode tahun 1998-1999. Walaupun sudah pulih ke level sebelum krisis, namun dari segi pertumbuhan subsektor peternakan masih tetap dalam fase pertumbuhan rendah seperti halnya perekomian Indonesia secara agregat. Subsektor peternakan akan kembali mengalami akselerasi bilamana laju pertumbuhan ekonomi kembali ke fase pertumbuhan tinggi.
Usaha peternakan non-ayam ras di dominasi oleh usaha rumah tangga yang pada umumnya merupakan usaha sambilan berskala kecil, tidak intensif dan dengan teknologi tradisional. Dengan karakteristik demikian, usaha peternakan rumah tangga tumbuh lambat. Pertumbuhan produksi lebih banyak berasal dari pertambahan jumlah usaha, daripada peningkatan skala usaha dan inovasi teknologi. Pertumbuhan jumlah usaha tersebut berkaitan erat dengan pertumbuhan jumlah rumah tangga seiring dengan pertumbuhan penduduk pedesaan Tanpa ada ”sentuhan baru”, agribisnis peternakan non-ayam ras diperkirakan akan terus terperangkap dalam siklus pertumbuhan rendah, berupa basis produksi (kawasan usaha peternakan intensif atau padang penggembalaan, modal, investasi, inovasi teknologi dan wirausaha pelopor.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dilihat dari prospek pasar dalam negeri, agribisnis peternakan memiliki peluang pengembangan yang amat baik, khususnya untuk usaha peternakan non-ayam ras. Masalah yang dihadapi oleh para peternak non-ayam ras adalah kendala produksi, bukan kendala pemasaran sebagaimana yang kerap dihadapi agribisnis lainnya. Agribisnis usaha peternakan rakyat non-ayam ras cenderung terperangkap dalam spiral pertumbuhan rendah, sehingga hanya dapat didinamisir melalui bantuan pemberdayaan dan fasilitasi pemerintah antara lain penyediaan modal, dan introduksi inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan. Inovasi kelembagaan utamanya ialah pengembangan polapola kemitraan antara usaha peternakan rumah tangga dengan suatu perusahaan skala besar yang bertindak sebagai penghela. Pengembangan sistem integrasi tanaman ternak juga dapat dipandang sebagai salah satu kebijakan yang tepat untuk mengatasi atau memperlonggar kendala basis usaha dan modal bagi usaha ternak rumah tangga.
2.3. Ancaman dan Peluang Perdagangan Dunia.
Struktur, perilaku dan kinerja pasar produk peternakan dunia amat dipengaruhi oleh keunggulan komparatif sumberdaya, ekonomi (peningkatan penduduk), teknologi pasca panen dan transportasi, prevalensi penyakit menular dan konfigurasi lokasi geografis negara produsen maupun konsumen. Sudah barang tentu, kebijakan negara-negara produsen dan konsumen utama juga amat menentukan kinerja perdagangan dunia. Faktor-faktor inilah yang dapat dipakai untuk menjelaskan pola dan kecendrungan perubahan perdagangan produk peternakan dunia.
2.4. Distorsi Kebijakan
Selain struktur dan perilakunya tidak mencerminkan pasar bersaing sempurna, pasar produk peternakan dunia juga amat terdistorsi oleh berbagai intervensi kebijakan akses pasar, dukungan domestik dan subsidi ekspor negaranegara pelaku pasar dominan, utamanya negara-negara maju. Tidak dapat disangkal, Kesepakatan Pertanian Uruguay di bidang Pertanian/WTO memang telah berhasil mengurangi tingkat distorsi tersebut atau setidaknya meletakkan landasan menuju liberalisasi pasar. Masalah utamanya ialah sejak awal, sebelum kesepakatan dicapai, pasar dunia sudah terlalu terditorsi, sementara kesepakatan negara-negara WTO kurang disiplin dalam melaksanakan komitmen masing-masing.
Tarif impor untuk produk-produk peternakan merupakan yang paling tinggi diantara seluruh produk Pertanian. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5, komitmen pagu tarif impor produk susu mencapai 116 persen di negara-negara maju (OECD) dan 74 persen di negara-negara non-OECD, daging beku 106 persen untuk negara-negara OECD dan 75 persen di negara-negara non-OECD, dan produk peternakan lainnya diatas 80 persen untuk negara-negara OECD dan di atas 60 persen di negara-negara non-OECD. Secara umum, pagu tarif di negaranegara maju lebih tinggi daripada di negara-negara sedang berkembang.
2.5. Arah dan Kebijakan Pengembangan.
Dilihat dari segi peluang pasar, pengembangan agribisnis peternakan memiliki prospek yang baik khususnya untuk memenuhi permintaan pasar domestic yang masih akan terus mengalami akselerasi seiring dengan pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk dan peningkatan urbanisasi. Pasar internasional mungkin masih tetap akan sulit ditembus karena membutuhkan dukungan system rantai pasok yang mampu menyediakan produk dengan mutu, volume dan waktu terjamin. Pasar internasional lebih merupakan ancaman daripada kesempatan bagi agribisnis peternakan Indonesia.
Akselerasi peternakan aneka usaha peternakan rakyat mutlak mebutuhkan fasilitasi dari pemerintah khususnya dalam pengadaan modal kerja, inovasi teknologi dan kelembagaan, serta wirausaha pelopor atau penghela ramtai pasok. Keterlibatan pemerintah tidak cukup sebagai fasilitator pasif, tetapi harus menjadi inisiator aktif mengingat aneka usaha peternakan di dominasi oleh usaha peternakan skala kecil yang mungkin telah sampai pada titik jenuhnya. Hanya dengan “suntikan” bantuan dan fasilitasi ekternal, usaha peternakan rakyat dapat keluar dari posisi keseimbangan pertumbuhan rendah.
Pada intinya prinsip dasar kebijakan yang diusulkan di atas adalah “Proteksi dan Promosi”. Usaha peternakan domestik perlu dilindungi (proteksi) dari ancaman banjir impor (import surge) murah yang terjadi karena kebijakan subsidi dan domestik berlebihan berbagai negara. Praktek perdagangan dunia produk peternakan domestik patut mendapatkan proteksi dari pemerintah. Pada saat ini tarif impor produk peternakan hanya 5 persen, jauh dari memadai untuk menetralisir bahaya banjir impor tersebut, sehinga perlu di tingkatkan secara signifikan.
Selain dengan meningkatkan tarif impor, kebijakan perlindungan yang dapat dilakukan pemerintah ialah peraturan non-tarif seperti pelarangan impor ayam yang sudah terpotong-potong (paha, jeroan), penetapan aturan labelisasi “halal”, dan berbagai aturan keamanan pangan dan pencegahan penyakit. (sanitary and phytosanitary) Sudah barang tentu, berbagai aturan non-tarif tersebut dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kesepakatan perdagangan WTO.
Investasi penyediaan bibit unggul, untuk calon induk maupun pejantan adalah sangat strategis, karena saat ini praktis belum ada pihak yang tertarik. Pusat pembibitan ternak milik pemerintah yang sudah ada belum mampu untuk merespon perkembangan yang terjadi di masyarakat. Namun ke depan kegiatan ini justru harus dilakukan oleh swasta atau peternak kecil yang maju. Investasi untuk usaha ini dapat dimulai dengan skala sedang 200-500 ekor untuk kemudian dikembangkan menjadi usaha yang besar. Investasi yang diperlukan usaha ini sedikitnya sekitar Rp. 0,5-1 milyar, tidak termasuk kebutuhan lahan. Diharapkan usaha ini dapat dikembangkan di kawasan perkebunan yang sudah tersedia bahan pakan yang memadai.
Sementara itu investasi untuk pabrik pakan, pabrik obat, pabrik kompos, pabrik pengolahan susu, dll., dapat disesuaikan dengan kapasitas yang diperlukan, yang bernilai setara dengan nilai investasi pada ternak lainnya.
Dukungan kebijakan investasi perlu menyertakan petani sebagai end user dan pada akhirnya memberikan titik terang dalam pemberdayaan petani, peningkatan kesejahteraan disamping penambahan devisa dari ekspor bila pasar ekspor ke negara-negara jiran dapat dimanfaatkan. Untuk mendukung pembangunan/revitalisasi pertanian dan menciptakan iklim investasi guna pengembangan dan peningkatan mutu ternak kambing diperlukan berbagai kebijakan, antara lain:
a) Penyederhanaan prosedur dan persyaratan untuk investasi usaha pengembangan peternakan kambing;
b) Penyediaan kredit bagi hasil dan
c) penyediaan informasi (harga dan teknologi)
Sementara untuk peternkana Kambing perah yang banyak dikembangkan di Indonesia umumya kambing peranakan Etawah (PE), yang umumnya masih lebih dominan sebagai sumber daging dibandingkan dengan sumber air susu. Susu kambing belum dikenal secara Iuas seperti susu sapi padahal memiliki komposisi kimia yang cukup baik (kandungan protein 4,3% dan lemak 2,8%) relatif lebih baik dibandingkan kandungan protein susu sapi dengan protein 3,8% dan lemak 5,0% (Sunarlim dkk, 1992). Disamping itu dibandingkan dengan susu sapi, susu kambing lebih mudah dicerna, karena ukuran molekul lemak susu kambing lebih kecil dan secara alamiah sudah berada dalam keadaan homogen (Sunarlim dkk, 1992) (Sinn, 1983).
Produktivitas biologis kambing cukup tinggi, 8-28% lebih tinggi dibandingkan sapi (Devendra, 1975). Jumlah anak per kelahiran (litter size) bervariasi 1 sampai dengan 3 ekor dengan tingkat produksi susu yang melebihi dari kebutuhan untuk anaknya, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai produk komersial dan tidak mengganggu proses reproduksinya. Biaya investasi usaha ternak kambing relatif rendah dan pemeliharaannya pun jauh lebih mudah dibanding sapi.
Pengembangan usaha kambing PE mempunyai peluang pasar yang cukup tinggi di Kabupaten Cianjur karena daya dukung kesesuaian iklim dan aksesibilitas ke berbagai daerah konsumen. Tingginya impor dan masih rendahnya produksi susu sapi dalam negeri, merupakan pasar yang perlu dijajagi
Dari aspek produksi daging, permintaan daging kambing di Indonesia maupun di dunia juga mengalami peningkatan pesat selama 10 tahun terakhir ini. Indonesia mengkonsumsi kambing sebagai salah satu sumber protein hewani yang utama setelah sapi dan ayam.
Pasokan daging kambing relatif terbatas karena usaha peternakan kambing di Indonesia di dominasi oleh usaha rumah tangga dengan skala pemilikian 4 – 10 ekor.
Permintaan kambing untuk konsumen khususnya seperti restauran dan hotel-hotel masih dipenuhi oleh impor. Hal ini disebabkan daging kambing dalam negeri kurang sesuai untuk masakan yang dikehendaki oleh restauran dan hotel tersebut. Pengembangan pasar ke pasar spesifik merupakan peluang ekonomi yang pantas diraih dengan pengusahaan peternakan kambing sistem ranch, dan hal ini sangat sesuai dengan kambing PE. Komoditas susu kambing juga memiliki propek yang baik sejalan dengan semakin memasyarakatnya susu tersebut.
2.2. Prospek Agribisnis Peternakan
Walau sama-sama bahan pangan, namun secara fungsional dan cita rasa, kebutuhan konsumsi produk peternakan amat berbeda dari produk tanaman pangan sehingga karakteristik permintaan terhadap kedua kelompok bahan pangan tersebut juga amat berbeda. Produk tanaman pangan merupakan sumber utama karbohidrat, sementara produk peternakan merupakan sumber utama protein. Permintaan terhadap produk tanaman pangan bersifat inferior atau normal, yang menurun atau meningkat lambat bila pendapatan konsumen meningkat, sementara permintaan terhadap produk-produk peternakan bersifat normal atau “mewah”, yang meningkat cepat atau bahkan lebih cepat dari laju peningkatan pendapatan konsumen. Oleh karena itu, sesuai dengan hukum Bennett, struktur konsumsi bahan pangan bergeser dari dominan bahan utama karbohidrat (produk tanaman pangan), ke bahan utama protein (peternakan) seiring dengan peningkatan pendapatan konsumen.
Dengan perkataan lain, konsumsi per kapita produk peternakan, akan cenderung meningkat, sementara konsumsi per kapita produk tanaman pangan cenderung menurun. Kecendrungan perubahan pola konsumsi tersebut cenderung lebih cepat karena didorong oleh urbanisasi dan peningkatan pengetahuan gizi masyarakat. Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan pertambahan penduduk akan menyebabkan permintaan terhadap produk peternakan mengalami akselerasi, meningkat dengan laju yang semakin pesat. Artinya, prospek pasar produk peternakan, cenderung membaik seiring dengan kemajuan ekonomi yang terefleksi dalam dua indikator kunci :
1. Kapasitas volume absorbsi pasar semakin besar
2. Harga pasar cenderung meningkat, setidaknya relatif terhadap produk tanaman pangan.
Prospek pasar yang membaik cepat merupakan kekuatan penarik yang cukup besar sebagai landasan terjadinya Revolusi Peternakan (Livestock Revolution) di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh Delgado, et.al. (1999). Revolusi Peternakan, dicirikan oleh akselerasi pertumbuhan produksi peternakan. Peternakan akan menjadi sumber utama pertumbuhan baru sektor pertanian, menggantikan tanaman pangan yang tumbuh pesat pada dekade tahun 1970-an - 1980-an di topang oleh inovasi teknologi Revolusi Hijau.
Di Indonesia, revolusi peternakan di perkirakan telah berlangsung sejak awal tahun 1980-an. Seperti yang ditunjukkan pada tabel 1, laju pertumbuhan subsektor peternakan melonjak dari 2,02 persen per tahun, atau yang terendah dalam lingkup sektor pertanian pada periode tahun 1967-1978, menjadi 6,99 persen per tahun atau yang tertinggi pada periode tahun 1978-1986. Namun pada periode tahun 1998 pertumbuhan subsektor peternakan anjlok hingga –13,94 persen sebagai akibat dari krisis multi dimensi ekonomi sosial politik.
Peternakan merupakan subsektor yang paling terpuruk akibat krisis multidimensi pada periode tahun 1998-1999. Walaupun sudah pulih ke level sebelum krisis, namun dari segi pertumbuhan subsektor peternakan masih tetap dalam fase pertumbuhan rendah seperti halnya perekomian Indonesia secara agregat. Subsektor peternakan akan kembali mengalami akselerasi bilamana laju pertumbuhan ekonomi kembali ke fase pertumbuhan tinggi.
Usaha peternakan non-ayam ras di dominasi oleh usaha rumah tangga yang pada umumnya merupakan usaha sambilan berskala kecil, tidak intensif dan dengan teknologi tradisional. Dengan karakteristik demikian, usaha peternakan rumah tangga tumbuh lambat. Pertumbuhan produksi lebih banyak berasal dari pertambahan jumlah usaha, daripada peningkatan skala usaha dan inovasi teknologi. Pertumbuhan jumlah usaha tersebut berkaitan erat dengan pertumbuhan jumlah rumah tangga seiring dengan pertumbuhan penduduk pedesaan Tanpa ada ”sentuhan baru”, agribisnis peternakan non-ayam ras diperkirakan akan terus terperangkap dalam siklus pertumbuhan rendah, berupa basis produksi (kawasan usaha peternakan intensif atau padang penggembalaan, modal, investasi, inovasi teknologi dan wirausaha pelopor.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dilihat dari prospek pasar dalam negeri, agribisnis peternakan memiliki peluang pengembangan yang amat baik, khususnya untuk usaha peternakan non-ayam ras. Masalah yang dihadapi oleh para peternak non-ayam ras adalah kendala produksi, bukan kendala pemasaran sebagaimana yang kerap dihadapi agribisnis lainnya. Agribisnis usaha peternakan rakyat non-ayam ras cenderung terperangkap dalam spiral pertumbuhan rendah, sehingga hanya dapat didinamisir melalui bantuan pemberdayaan dan fasilitasi pemerintah antara lain penyediaan modal, dan introduksi inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan. Inovasi kelembagaan utamanya ialah pengembangan polapola kemitraan antara usaha peternakan rumah tangga dengan suatu perusahaan skala besar yang bertindak sebagai penghela. Pengembangan sistem integrasi tanaman ternak juga dapat dipandang sebagai salah satu kebijakan yang tepat untuk mengatasi atau memperlonggar kendala basis usaha dan modal bagi usaha ternak rumah tangga.
2.3. Ancaman dan Peluang Perdagangan Dunia.
Struktur, perilaku dan kinerja pasar produk peternakan dunia amat dipengaruhi oleh keunggulan komparatif sumberdaya, ekonomi (peningkatan penduduk), teknologi pasca panen dan transportasi, prevalensi penyakit menular dan konfigurasi lokasi geografis negara produsen maupun konsumen. Sudah barang tentu, kebijakan negara-negara produsen dan konsumen utama juga amat menentukan kinerja perdagangan dunia. Faktor-faktor inilah yang dapat dipakai untuk menjelaskan pola dan kecendrungan perubahan perdagangan produk peternakan dunia.
2.4. Distorsi Kebijakan
Selain struktur dan perilakunya tidak mencerminkan pasar bersaing sempurna, pasar produk peternakan dunia juga amat terdistorsi oleh berbagai intervensi kebijakan akses pasar, dukungan domestik dan subsidi ekspor negaranegara pelaku pasar dominan, utamanya negara-negara maju. Tidak dapat disangkal, Kesepakatan Pertanian Uruguay di bidang Pertanian/WTO memang telah berhasil mengurangi tingkat distorsi tersebut atau setidaknya meletakkan landasan menuju liberalisasi pasar. Masalah utamanya ialah sejak awal, sebelum kesepakatan dicapai, pasar dunia sudah terlalu terditorsi, sementara kesepakatan negara-negara WTO kurang disiplin dalam melaksanakan komitmen masing-masing.
Tarif impor untuk produk-produk peternakan merupakan yang paling tinggi diantara seluruh produk Pertanian. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5, komitmen pagu tarif impor produk susu mencapai 116 persen di negara-negara maju (OECD) dan 74 persen di negara-negara non-OECD, daging beku 106 persen untuk negara-negara OECD dan 75 persen di negara-negara non-OECD, dan produk peternakan lainnya diatas 80 persen untuk negara-negara OECD dan di atas 60 persen di negara-negara non-OECD. Secara umum, pagu tarif di negaranegara maju lebih tinggi daripada di negara-negara sedang berkembang.
2.5. Arah dan Kebijakan Pengembangan.
Dilihat dari segi peluang pasar, pengembangan agribisnis peternakan memiliki prospek yang baik khususnya untuk memenuhi permintaan pasar domestic yang masih akan terus mengalami akselerasi seiring dengan pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk dan peningkatan urbanisasi. Pasar internasional mungkin masih tetap akan sulit ditembus karena membutuhkan dukungan system rantai pasok yang mampu menyediakan produk dengan mutu, volume dan waktu terjamin. Pasar internasional lebih merupakan ancaman daripada kesempatan bagi agribisnis peternakan Indonesia.
Akselerasi peternakan aneka usaha peternakan rakyat mutlak mebutuhkan fasilitasi dari pemerintah khususnya dalam pengadaan modal kerja, inovasi teknologi dan kelembagaan, serta wirausaha pelopor atau penghela ramtai pasok. Keterlibatan pemerintah tidak cukup sebagai fasilitator pasif, tetapi harus menjadi inisiator aktif mengingat aneka usaha peternakan di dominasi oleh usaha peternakan skala kecil yang mungkin telah sampai pada titik jenuhnya. Hanya dengan “suntikan” bantuan dan fasilitasi ekternal, usaha peternakan rakyat dapat keluar dari posisi keseimbangan pertumbuhan rendah.
Pada intinya prinsip dasar kebijakan yang diusulkan di atas adalah “Proteksi dan Promosi”. Usaha peternakan domestik perlu dilindungi (proteksi) dari ancaman banjir impor (import surge) murah yang terjadi karena kebijakan subsidi dan domestik berlebihan berbagai negara. Praktek perdagangan dunia produk peternakan domestik patut mendapatkan proteksi dari pemerintah. Pada saat ini tarif impor produk peternakan hanya 5 persen, jauh dari memadai untuk menetralisir bahaya banjir impor tersebut, sehinga perlu di tingkatkan secara signifikan.
Selain dengan meningkatkan tarif impor, kebijakan perlindungan yang dapat dilakukan pemerintah ialah peraturan non-tarif seperti pelarangan impor ayam yang sudah terpotong-potong (paha, jeroan), penetapan aturan labelisasi “halal”, dan berbagai aturan keamanan pangan dan pencegahan penyakit. (sanitary and phytosanitary) Sudah barang tentu, berbagai aturan non-tarif tersebut dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kesepakatan perdagangan WTO.
Category: Pendidikan
0 komentar